Zuhud dan Hadist yg berkaitan dengannya

BAB II
PEMBAHASAN



Pengertian Zuhud 

Zuhud menurut bahasa adalah berpaling dari sesuatu karena hilangnya sesuatu tersebut dan karena (seseorang) tidak memerlukannya. 
Zuhud menurut istilah adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat demi kehiduan akhirat.dari definisi zuhud menurut istilah dan bahasa dapat ditarik kesimpulan kalau segala sesuatu yang kita miliki didunia ini segalanya akan hilang tak ada yang abadi.dengan menanamkan sifat zuhud maka akan tumbuh dalam diri kita sifat mencintai Allah swt, dal lebih mementingkan akhirat di banding dunia
Hadist Tentang Zuhud
عَنْ أَبِي الْعَبَّاس سَهْل بِنْ سَعْد السَّاعِدِي رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : ياَ رَسُوْلَ اللهِ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِيَ اللهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ، فَقَالَ : ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللهُ، وَازْهَدْ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ .
[حديث حسن رواه ابن ماجة وغيره بأسانيد حسنة]
Artinya: 
 Dari Abu Abbas Sahl bin Sa’ad Assa’idi radhiallahuanhu dia berkata : Seseorang mendatangi Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, maka beliau berkata : Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku sebuah amalan yang jika aku kerjakan, Allah dan manusia akan mencintaiku, maka beliau bersabda: Zuhudlah terhadap dunia maka engkau akan dicintai Allah dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia maka engkau akan dicintai manusia.
(Hadits hasan riwayat Ibnu Majah dan lainnya dengan sanad hasan) .
Hadis di atas mengisyaratkan suatu perilaku yang dapat mengantarkan seseorang meraih cinta Allah SWT dan manusia. Perilaku itu adalah zuhud. Secara etimologi, zuhud adalah menjauhkan diri dari sesuatu karena menganggap hina dan tidak bernilai. Bagi para sufi, zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang lebih dari kebutuhan hidup walaupun sudah jelas kehalalannya. 
Berlaku zuhud tidak berarti berdiam diri dan tidak melakukan usaha apa pun untuk mendapatkan rezeki yang halal. Zuhud bukan sikap malas. Seorang zahid (orang yang zuhud) sama sekali tidak identik dengan orang fakir yang tidak mempunyai harta apa pun. Seorang zahid adalah orang yang mendapatkan kenikmatan dunia tetapi tidak memalingkan dirinya dari ibadah kepada Allah. Ia tidak diperbudak dunia dengan segala kenikmatannya, dan mampu menahan diri untuk tetap berada di jalan yang diridhai Allah. 
Zuhud adalah perbuatan hati (af'al al-qulub). Seorang zahid, dalam hatinya tumbuh keyakinan bahwa apa yang ada dalam genggaman Allah lebih bernilai daripada yang ada dalam genggaman manusia. Ia yakin Allah adalah al-razzaq, penjamin rezeki semua makhluk. Imam Husain bin Ali berkata, ''Salah satu ciri lemahnya iman seseorang adalah menganggap bahwa yang ada pada manusia lebih bernilai daripada yang ada pada Allah.'' 
Perilaku zuhud juga sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Zuhud dalam bermasyarakat adalah dengan menjauhkan diri dari segala bentuk kejahatan sosial yang dapat merusak keharmonisan hidup bermasyarakat seperti menggunjing, mengadu domba, berjudi, dan mengonsumsi narkotika, psikotropika, dan barang terlarang lainnya. 
Dalam bermasyarakat, seorang zahid mampu menahan diri untuk tidak mengambil hak milik orang lain dengan cara yang dilarang oleh agama. Allah SWT berfirman:
Artinya:
''Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.'' (QS. Al Baqaroh: 188). 
Seorang zahid tidak akan dengki terhadap kenikmatan yang dimiliki orang lain. Ia sadar, perbedaan nikmat yang diberikan Allah kepada manusia adalah ujian bagi ketaatannya kepada Allah. Rasulullah SAW memerintahkan setiap Muslim untuk menjauhi sifat dengki karena dapat menghapus semua pahala kebaikan seperti api melalap kayu bakar. (HR Abu Daud). 
Setiap Muslim hendaknya mampu menanamkan zuhud dalam hidupnya agar mampu menyikapi kenikmatan dunia searif mungkin dan mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan sesama manusia
Hadist tentang 3 Hal Yang Menyertai Mayit
 Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan di dalam kitab shahihnya dari hadits  Anas bin Malik radhiyallohu ‘anhu bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam bersabda,
قا ل رسول الله صلى الله عليه و سلم : يتبع الميت ثلاثة ,فيرجع اثنان و يبقى معه واحد  يتبعه اهله و ماله و عمله, فيرجع اهله و ماله و يبقى عمله.
Artinya:
Mayit itu diikuti oleh tiga golongan, akan kembali dua golongan dan satu golongan akan tetap menemaninya, dia akan diikuti oleh keluarganya, hartanya dan amalnya. Maka keluarga dan hartanya akan kembali pulang sementara amalnya akan tetap menemaninya”. (HR.Bukhari, no.6514; Muslim, no.2960)
‘Ali bin Muhammad Abul Hasan Nuruddin Al-Mala Al-Harawi Al-Qari (meninggal dunia tahun: 1014 H) menyatakan bahwa seseorang ketika mati ada tiga yang mengikutinya hingga ke kubur. 
Pertama adalah kerluarganya, yaitu anak dan kerabatnya, begitu pula sahabat dan kenalanya. 
Kedua adalah hartanya, seperti budak laki-laki dan perempuannya, juga hewan tunggangannya. 
Ketiga adalah amalannya, yaitu amal baik ataupun buruk yang pernah ia lakukan. Keluarga dan harta tadi akan kembali. Yang tersisa hanyalah amalnya yang menemani ia di kubur. (Mirqah Almafatih Syarh Misykah Al-Mashobih, 8:3235. Dinukil dari fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 199542)
Ibnu Hajar rahimmallah berkata, “mayit akan diikuti oleh keluarga, harta dan amalnya. Itu adalah umumnya. Bias jadi ada mayit yang hanya diikuti oleh amalnya saja, tanpa membawa harta dan keluarga ketika di antar ke kuburan.” (Fath Al-Bari, 11:365)
Disebutkan dalam hadist ASl-Bara bin ‘Azib yang panjang tentang pertanyaan di alam kubur. Ada ketika itu datang seseorang yang berwajah tampan dan berpakaian bagus, baunyapun wangi. Ia adalah wujud dari amalan shalih seorang hamba. Sedangkan orang kafir didatangi oleh orang yang berwajah jelek. (HR.Ahmad,4: 287. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menyatakan bahwa sanad hadist ini shahih, perawinya adalah perawi yang shahih)
Hadist tentang Memandang Orang Yang Lebih Rendah
 عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ قَالَ: أَوْصَانِيْ خَلِيْلِي بِسَبْعٍ : بِحُبِّ الْمَسَاكِيْنِ وَأَنْ أَدْنُوَ مِنْهُمْ، وَأَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلُ مِنِّي وَلاَ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوقِيْ، وَأَنْ أَصِلَ رَحِمِيْ وَإِنْ جَفَانِيْ، وَأَنْ أُكْثِرَ مِنْ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، وَأَنْ أَتَكَلَّمَ بِمُرِّ الْحَقِّ، وَلاَ تَأْخُذْنِيْ فِي اللهِ لَوْمَةُ لاَئِمٍ، وَأَنْ لاَ أَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا.
Artinya:
“(Rasulullah) ShallAllahu 'alaihi wa sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal :pertama, supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka. Kedua, beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku. ketiga, beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahmiku meskipun mereka berlaku kasar kepadaku. Keempat, aku dianjurkan agar memperbanyak ucapan lâ haulâ walâ quwwata illâ billâh (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah).kelima, aku diperintah untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit. Keenam, beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, dan ketujuh, beliau melarang aku agar tidak meminta-minta sesuatu pun kepada manusia”
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh imam-imam ahlul-hadits, di antaranya:
Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/159).
Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (II/156, no. 1649), dan lafazh hadits ini miliknya.
Imam Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (no. 2041-al-Mawârid).
Imam Abu Nu’aim dalam Hilyatu- Auliyâ` (I/214, no. 521).
Imam al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (X/91).
Rasulullah ShallAllahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kita agar melihat orang yang berada di bawah kita dalam masalah kehidupan dunia dan mata pencaharian. Tujuan dari hal itu, agar kita tetap mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Rasulullah ShallAllahu 'alaihi wa salam bersabda:
اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ.
Artinya:
"Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena yang demikian lebih patut, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu".
Nabi SAW. melarang seorang Muslim melihat kepada orang yang di atas. Maksudnya, jangan melihat kepada orang kaya, banyak harta, kedudukan, jabatan, gaji yang tinggi, kendaraan yang mewah, rumah mewah, dan lainnya. Dalam kehidupan dunia terkadang kita melihat kepada orang-orang yang berada di atas kita. Hal ini merupakan kesalahan yang fatal. Dalam masalah tempat tinggal, misalnya, terkadang seseorang hidup bersama keluarganya dengan "mengontrak rumah", maka dengan keadaannya ini hendaklah ia bersyukur karena masih ada orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal dan tidur beratapkan langit. Begitu pun dalam masalah penghasilan, terkadang seseorang hanya mendapat nafkah yang hanya cukup untuk makan hari yang sedang dijalaninya saja, maka dalam keadaan ini pun ia harus tetap bersyukur karena masih ada orang-orang yang tidak memiliki penghasilan dan ada orang yang hanya hidup dari menggantungkan harapannya kepada orang lain.
Sedangkan dalam masalah agama, ketaatan, pendekatan diri kepada Allah, meraih pahala dan surga, maka sudah seharusnya kita melihat kepada orang yang berada di atas kita, yaitu para nabi, orang-orang yang jujur, para syuhada, dan orang-orang yang shalih.
Apabila para salafush-shalih sangat bersemangat dalam melakukan shalat, puasa, shadaqah, membaca Al-Qur`ân, dan perbuatan baik lainnya, maka kita pun harus berusaha melakukannya seperti mereka. Dan inilah yang dinamakan berlomba-lomba dalam kebaikan. Dalam masalah berlomba-lomba meraih kebaikan ini, Allah Tabarâka wa Ta’ala berfirman:
وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ 
Artinya:
"Dan untuk yang demikian itu, hendaknya orang berlomba-lomba". [al-Muthaffifîn/83:26].
Rasulullah ShallAllahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kita melihat kepada orang yang berada di bawah kita dalam masalah dunia, agar kita menjadi orang-orang yang bersyukur dan qana’ah. Yaitu merasa cukup dengan apa yang Allah telah karuniakan kepada kita, tidak hasad dan tidak iri kepada manusia.
Apabila seorang muslim hanya mendapatkan makanan untuk hari yang sedang ia jalani sebagai kenikmatan yang paling besar baginya. Rasulullah ShallAllahu 'alaihi wa sallam telah menyinggung hal ini dalam sabdanya:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِيْ سِرْبِهِ، مُعَافًى فِيْ جَسَدِهِ، وَعِنْدَهُ قُوْتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيْزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيْرِهَا.
Artinya:
"Siapa saja di antara kalian yang merasa aman di tempat tinggalnya, diberikan kesehatan pada badannya, dan ia memiliki makanan untuk harinya itu, maka seolah-olah ia telah memiliki dunia seluruhnya".
Abu Dzar RadhiyAllahu'anh adalah teladan kita dalam hal ini. Beliau mencari makan untuk hari yang sedang dijalaninya, sedangkan untuk esok harinya beliau mencarinya lagi. Beliau melakukan yang demikian itu terus-menerus dalam kehidupannya. Mudah-mudahan Allah meridhai beliau.
Ketahuilah bahwa harta, pangkat, rupa hatta ilmu itu adalah pinjaman dari Allah SWT. Dengannya bertujuan untuk menguji iman kita semua. Siapakah anda dan saya sehingga kita begitu angkuh lalu memandang rendah manusia lain? Inilah keburukan sikap sombong yang menjadikan manusia lupa asal usulnya. Walaupun manusia berbeda dari berbagai segi, namun Islam melarang kita memandang rendah kepada orang lain.
Orang yang sombong akan merasakan dirinya lebih tinggi dari orang lain. Setiap pendapat, pandangan dan cadangan orang lain semuanya dilihat lebih rendah dan tidak perlu diberikan perhatian. Mereka akan sentiasa mencari jalan keluar untuk menolak pandangan orang lain, walaupun merugikan mereka di dunia dan akhirat.

Mukmin Makan Dengan Satu Usus, Orang Kafir Dengan Tujuh Usus
Redaksi ini merupakan hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلْمُؤْمِنُ يَأكُلُ فِي مِعً وَاحِدٍ، وَالْكَافِرُ يَأْكُلُ فِيْ سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ
Artinya:
“orang mukmin makan dengan satu usus manakala orang kafir makan dengan tujuh usus” 


 Makna hadits bukan makna hakiki
Bukan maksud hadits bahwa orang kafir ususnya lebih banyak tujuh kali lipat dari orang mukmin.
Ibnu hajar Al-Asqalani rahimahullah menjelaskan,
فليس المراد حقيقة الأمعاء ولا خصوص الأكل وإنما المراد التقلل من الدنيا والاستكثار منها
Artinya:
“Bukanlah maksudnya adalah makna hakiki berupa usus bukan juga pengkhususan makan. Maksudnya adalah sedikit keinginan terhadap dunia dan tidak memperbanyaknya.”
Makna hadits
perintah agar zuhud pada dunia dan tidak terlalu cenderung kepada dunia. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,
قال العلماء : ومقصود الحديث التقليل من الدنيا ، والحث على الزهد فيها والقناعة
Artinya:
“Para ulama menjelaskan bahwa maksud hadits ini adalah agar mempersedikit (kecenderungan) kepada dunia dan motivasi agar zuhud dan qana’ah.”
Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata,
ما حديث أبي هريرة هذا وأمثاله، فليس فيه إلا مدح المؤمن بقلّة رغبته في الدنيا، وزهده فيها، بأخذ القليل منها في قوته، وأكله ولُبسه وكسبه، وأنه (يأكل ليحيا، لا ليسمن)
Artinya:
“Maknanya adalah pujian kepada seorang muslim dengan sedikitnya keinginan kepada dunia dan zuhud. Mereka mengambil sedikit  (secukupnya) saja dari makanan pokok, makanan, pakaian dan pekerjaan mereka.”
Qona’ah adalah surga kaum muslimin di dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
Artinya:
“Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang Allah berikan kepadanya”
Perintah agar tidak terlalu banyak makan dan serakah. Imam Na-Nawawi rahimahullah berkata,
مع أن قلة الأكل من محاسن أخلاق الرجل ، وكثرة الأكل بضده
Artinya:
“Padahal sedikit makan merupakan kemuliaan akhlak seseorang dan banyak makan adalah lawannya.”
Dan memang perut yang terlalu penuh adalah sumber kerusakan.Sebagaimana dalam hadits,
ما ملأ آدميٌّ وعاءً شرًّا من بطن، بحسب ابن آدم أكلات يُقمن صلبَه، فإن كان لا محالة، فثُلثٌ لطعامه، وثلثٌ لشرابه، وثلثٌ لنفَسِه
Artiinya:
“Tidaklah anak Adam memenuhi wadah yang lebih buruk dari perut. Cukuplah bagi anak Adam memakan beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Namun jika ia harus (melebihinya), hendaknya sepertiga perutnya (diisi) untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk bernafas”[7]
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
لان الشبع يثقل البدن، ويقسي القلب، ويزيل الفطنة، ويجلب النوم، ويضعف عن العبادة

Artinya:
“Karena kekenyangan membuat badan menjadi berat, hati menjadi keras, menghilangkan kecerdasan, membuat sering tidur dan lemah untuk beribadah.”



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Attahtawi,Jamalluddin al-Afghani, Muhammad Abduh

Gw gak mau ribet politik!!!